Kisah Moksa
Angin sebagai pendayang istana jiwa sang bedebah. Angin ini tak pernah dipadami Tuhan meski dibawah matahari terpanas. Hanya kadang-kadang angin mengayuh lembut tanpa sadar. Karena itulah ia menamai hutannya Pohon Angin.
Entah dengan apa ia mengatur arus angin itu dengan ritme dan dinamika yang ia suka, padahal Moksa, sang raja Pohon Angin itu bukan termasuk penyihir di wilayah Biduri-biduri semi. Apalagi jika ia mendapat mukjizat yang samasekali tak pantas ia dapatkan sebagai raja paling eksotis dan ganas.
Gelap pada malam tiba, disertai lagu angin yang tajam, Moksa mengendalikan angin dengan harmoni liar , tanpa risaukan pemukim Biduri-biduri Semi yang keresahan mencari damai malam. Namun Moksa asyik berdusta sebagai penguasa tak berkeadilan. Ia hanya ajari tawa, tawa biadab yang kini meracuni para rakyatnya yang bodoh. Lagu angin di malam itu, tak berdasar, berinti dan tak berkesimpulan. Di sudut hutan terdiam manusia lain, seseorang yang tak pernah menampakkan dirinya di setiap pesta Angin. Hingga manusia lain di ujung hutan itu tak berjeda lagi marahnya, akibat ritualnya tak jua khusyuk, akan lagu angin yang tak senada dengan nuansa musim kala itu. Segera manusia lain ini berdiri dari silanya dan terdamparlah sebuah simbol empat kehidupan dibagian dadanya. Bulan, matahari, bintang dan ... Tak akan ada yang tahu nama dari simbol keempat itu. Berbentuk persegi yang bercorak tak jelas. Yang jelas hanya tubuh gagahnya seperti Siwa. Manusia lain, Rawi segera berjalan kilat menuju alun-alun hutan Pohon Angin, berdiri di atap pohon beringin dan menggemakan amarahnya disana .
"Wahai makhluk yang mengaku raja. Janganlah kau merusak malam yang Tuhanku ciptakan. Jangan kau dustai gelap yang damai ini dengan kemahiranmu" . Semua suara terhenging menyimak suara gagah yang tak pernah mampu diungkap penghuni. Lain dari Moksa, suara hatinya mencaci-maki dan menindas suara itu, sembari bertanya-tanya siapakah manusia murahan itu? yang berani memberontak kesenangannya. Namun Rawi tetap berteriak, selagi lagu angin itu tak jua lekas dari dustanya. Moksa merasakan telinganya yang gatal, ia menggibaskan kipas bambunya dan menciptakan angin panah dan busur dengan amat besar dan kuat. Suara itu seperti halilintar, tak seperti suara angin yang secantik biasanya. Busshhhh Busshhhh.. Moksa menari-narikan jarinya pada pundak bambu itu menariknya kebelakang dan mementalkan angin panah itu pada Rawi Sssssssssrrrrrtt. Dan. . . .
Mau tahu kelanjutannya? . Sabar, nanti kalian bisa melanjutkannya di Novel Fantasi kedua Nida Sopiah Zulfa dengan judul Moksa. Ikuti terus infonya ya !.
Komentar
Posting Komentar