Meningkatkan Pribadi Agamis Melalui Sastra Islam
MENINGKATKAN PRIBADI AGAMIS
MELALUI SASTRA ISLAM
Oleh : Sahabati NIDA SOPIAH ZULFA
Cabang : Rayon Tarbiyyah IAID Ciamis
Sejak zaman old sebagian manusia selalu melakukan hal gila, tetapi ada juga yang selalu menjalankan kehidupannya sesuai dengan koridor. Singkatnya, terdapat prilaku manusia yang positif dan negativ. Akan tetapi zaman now ini, lebih memberatkan pada perbuatan ilegal. Khususnya indonesia. Sebuah negara yang lebih banyak jumlah penduduknya menganut agama islam. Islam dikenal agama yang paling jelas dan masuk akal. Di dalamnya terdapat penggamblangan tentang tatacara menjalani, menanggapi serta merealisasikan kehidupan, baik kepada mahkluk maupun pencipta makhluk tersebut. Tetapi nampaknya memang akhir zaman ini merupakan zaman yang tidak alami. Banyak kasus-kasus yang tidak senonoh, tentang kejahatan dunia politik, perdagangan, kriminal bahkan prilaku untuk dirinya sendiripun masih minimalis. Jikalau begitu, apakah benar kita ini sudah sebagai seorang muslim sejati?. Meskipun sudah tidak viral lagi kata "islam KTP" akan tetapi realita islam KTP masih viral. Mereka membuat kepercayaan kepada Allah tanpa menjalankan ritual. Bagai menepuk angin. Pribadi-pribadi muslim yang tidak seperti muslim. Tingkah lakunya, bungkusnya apalagi isi hatinya yang lebih eksis pada duniawi.
Sebagai seorang hamba Allah SWT. Patutlah kita mengamalkan Amarma'ruf nahi munkar. Dan disinilah tugas untuk para kader PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Berhubung tujuan dari PMII adalah membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT menjadi sebuah tuntutan untuk mewujudkan hal tersebut. Namun, di samping pergerakan yang akan kita lakulan, hendaklah kita ketahui keadaan masyarakat zaman ini. Dulu, dakwah yang di lakukan Rasulullah adalah metode ceramah secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Tapi coba kita perhatikan, metode ceramah ini sudah jarang diminati masyarakat kecuali sebagian masyarakat lokal.
Berhubung teknologi seperti handphone dan media sosial yang sudah seperti bahan pokok kebutuhan sehari-hari manusia. Maka penulis menyelipkan pemikiran dakwah tentang peningkatan pembentukan pribadi yang agamis ini melalui literasi khususnya sastra. Sastra itu memang abstrak, tetapi sastra juga ungkapan kehidupan, pertanyaan dan jawaban. Gambaran dari realita kehidupan. Sastra yang penulis maksud adalah sastra islam. Bagimanakah cara membentuk pribadi agamis melalui sastra islam?. Semua jawaban akan penulis ulas di paragraf selanjutnya.
Keadaan Islam Zaman Now
Agama islam sejak dilahirkan adalah membela dan menegakkan kebenaran yang tulen, kebenaran yang tidak bercampur sedikit juga dengan keraguan. Setiap penganut islam, wajib menyuruh berbuat baik mencegah munkar, sehingga berabad-abad lamanya islam menjadi guru dunia.
Tetapi sudah menjadi hukum alam setiap periode zaman selalu ada kegilaan pada manusia. Idrus dalam bukunya "Dari Ave Maria Kejalan lain ke Roma" menceritakan kemelaratan bangsa indonesia di jaman penjajahan Jepang. Manusia melakukan banyak onani. Dianggapnya itu tidak rugi pada penghukuman negara sebab tidak merugikan jenis lain. Tanpa sadar, itu merugikan dirinya sendiri dan munkar kepada Allah SWT. Tidak hanya zaman jajahan Jepang, di zaman now sekarangpun masih sama. Kebebasan sex yang dilakukan orang-orang islam kian meningkat dan hanya satu dua yang di hukum dalam negara, orang-orang pandai menyenbutkan "saya tidak munafik" padahal memang munafik. Apakah begitu seorang muslim?.
Dalam dunia perdagangan saja manusia hilang akalnya. Egoisme dan picik. Berbagai makanan oplosan, ganja dengan coklat, daging haram dijual halal, makanan pokok sudah di takuti untuk di konsumsi. Dan masih banyak amalan-amalan bodoh yang terus menjadi refleksi kehidupan.
Zaman islam kini juga telah menjadi zaman batu. Di trotoar, jalan umum, bus, kereta semua orang sibuk dengan Handphonenya. Padahal islam mengajarkan adab yang bagus. Guru besar kita Rasulullah bersabda:
"Hak orang islam atas orang islam enam perkara : Apabila engkau bertemu dengan dia ucapkanlah salam kepadanya, apabila dia memanggil hendaklah perkenankan, apabila dia meminta nasihat, hendaklah beri nasihat, apabila dia bersin dengan memuji Allah, hendaklah memohonkan pula baginya rahmat, apabila dia sakit hendaklah ziarahi dan apabila dia mati hendaklah antarkan mayatnya sampai ke kubur," (HR Muslim dari Abi Hurairah).
Buya Hamka (2015: 139) dalam bukunya Filsafat Hidup menerangkan. Hak artinya pekerjan atau perkara yang tetap, yang wajib dijaga terus menerus. Lawan hak ialah kewajiban. Seorang ayah wajib membiayai anaknya, dan si anak berhak menerima belanja dari ayahnya. Dan si anak wajib menghidmati ayahnya dan si ayah berhak menerima penghidmatan itu. Seorang sesama muslim dan haknya atas diri kita enam perkara dan kita memikul kewajiban untuk memunaikan hak itu. Jadi setiap muslim berhak menerima penyelenggaraan dari sesamanya muslim dan setiap muslim wajib menunaikan kewajiban itu.
Sebenarnya hak muslim atas muslim itu bukanlah enam perkara saja, masih banyak lagi yang lain, beratus, beribu. Tetapi karena Rasulullah SAW. seorang yang bijaksana, tidaklah beliau memborong menerangkannya sekaligus, cukup dahulu enam perkara. Yaitu hak yang berkaitan dengan menguatkan persaudaraan antara seorang dengan seorang di dalam islam.
Enam perkara ini saja diterangkan Nabi dahulu, karena ini yang sangat penting dalam pergaulan sehari-hari. Amat ringan, sehingga lantaran ringannya, kerapkali di abaikan orang. Dia amat penting tetapi selalu di lupakan. Sudahkan kita saling memberi hak pada sesama muslim?. Hanya pribadi yang bisa menjawab.
Sahabat-sahabati, kita ingat selalu tujuan kita perihal pribadi kita yang agamis. Dan bagaimana cara kita meningkatkan pribadi islami ini dengan terus menggunakan akal dan perbuatan. Mempergunakan akal dengan seksama, adalah serupa main olahraga juga. Berkehendak kepada latihan yang lama, kesungguhan yang tidak berhenti-henti. Orang yang berakal memandang ringan segala kesusahan, lumrah segala halangan yang menghambat tujuannya, sebab mulia tujuan bertambah sulit pula menempuhnya, tetapi yang di ingatnya ialah bahwa sesudah sampai di puncak bukit itu dia akan merenung ke bawah, melihat alam yang terbentang dengan luasnya. Di sana nikmat Allah datang bertubi-tubi, tidak putus-putus dan berhenti-henti.
Kalau hidup ini hanya semata-mata hidup tentulah tidak susah jadi manusia. Sebagai umat muslim gunakanlah sebaik-baiknya akal dan prilaku yang sesuai dengan koridor. Hidup tidak lama. Zamannya amat pendek, di antara yang dahulu, sebelum kita lahir, yang beribu tahun dengan nanti sesudah kita mati, yang beribu-ribu tahun pula. Kita adalah umat islam di akhir zaman, penuh hitam putih keadaan. Tetapi tidak semuanya mengetahui dan berinisiatif mencari arti kehidupan sebenarnya, saatnya kita bangun pribadi muslim yang baik pada zaman yang berkembang ini.
Perkembangan Sastra Islam
Menurut Terry Eagleton (2017: 58) Sastra adalah ideologi, yaitu sekumpulan struktur nilai yang tersembunyi. Jika karya sastra adalah sekumpulan dari ideologi, maka karya sastra tidak bisa lepas dari orang yang mengarangnya.
Nah, apabila yang mengarang sastra itu sastra islam, maka semakin baiklah karya itu pada dunia dan akhirat. Sastra, merupakan karya serapan kehidupan, seni, dan dapat dikaitkan sebagai salah satu bidang yang dapat membangun kebiasaan literasi. Dengan sastra, seseorang dapat melihat gambaran hatinya, gambaran tingkahnya gambaran kehidupannya.
Melihat perkembangan arah sastra. Pertanyaaan kemana arah sastra saat ini? pada perkara ini mengandung jawaban bercabang. Dilihat dari pertanyaan tersebut sudah pasti menuai kontroversi di antara pemerhati sastra di Indonesia. Terdapat dua jawaban yang dapat dilihat kasat mata, yaitu sastra berkiblat ke Eropa dan kedua ke Timur Tengah. Kedua kiblat tersebut masing-masing mempunyai referensi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari literasi, pakar dan rujukan yang berlawanan antara kedua kiblat. Kita mulai dari kiblat sastra yang mengarah ke Eropa. Sejak munculnya peradaban sastra Indonesia ditandai dengan angkatan pujangga lama sekitar tahun 1920 sampai 1930. Pada periode ini muncullah tokoh sekelas Marah Rusli dengan novel lengendaris , Siti Nurbaya. Kisah novel ini masih membekas dalam benak para pencinta sastra Indonesia. Novel mengkritik budaya kawin paksa yang ada dalam masyarakat Minangkabau. Ketika pujangga lama, penjajahan belanda masih mendominasi di tanah air, kebanyakan para sastrawan kita membaca literasi sastra dari Belanda atau Eropa lainnya. Pengaruh penjajahan dalam periode ini telah mewarnai wajah sastra Indonesia.
Kajian kajian Profesor A Teuw yang berkebangsaan Belanda memberi sinyal tentang kiblat sastra indonesia pada masa 1945. Penyuka dan pengkaji puisi -puisi Amir Hamzah sangat mempengaruhi pola pikir para sassastrawan kita. Kehadiran A. Tew di tanah jawa mengumpulkan literasi kuno telah mempengaruhi cara berpikir, bersikap dalam memahami dan menulis genre sastra. Nah Hal lain yang menonjol pada periode ini adalah aliran yang dianut masih berkutat pada romantisme dan idealisme. Bukankah kedua aliran ini termasuk kedalam aliran sastra yang ada dalam sastra barat?
Dengan demikian membuktikan bahwa sastra Indonesia pada masa penjajahan sudah mulai mengekor pada sastra barat. Ada kisah menarik dari seorang Chairil Anwar sebagai tokoh kita. Ketika ia menyelinap secara diam-diam di sebuah perpustakaan mencuri sebuah buku. Dengan semangat berapi- api ia buka buku tersebut ketika berada di luar perpustakaan. Ia membathin, inilah buku sastra terhebat dari belanda yang diidam- idamkan selama ini. Akan tetapi,alangkah terkejutnya dia, ketika dibuka ternyata bukan buku yang diincarnya, melainkan sebuah kitab suci suatu agama. Dalam perjalanan karir sastranya Chairil Anwar, Rifain Afin, dan Asrul Sani selalu menyerap teori dan kajian sastra dari bahasa Inggris dan bahasa belanda. Selanjutnya, sampai hari ini para dosen dan professor sastra Indonesia yang menjadi agen ilmu pengetahuan juga masih memuja alira-aliran barat seperti aliran Romantic, strukturalisme, dan alirn Marxisme dalam mengkaji dan menilai sebuah karya. Ada juga aliran formalism dari Rusia yang telah mendokrinisasi pemikiran para ilmuan sastra di indonesia.
Lalu bagaimana dengan kiblat sastra yang mengarah ke Timur Tengah? Seperti dikemukan di awal pembahasan ini bahwa lain padang lain belalang, lain lubug lain ikannya. Sastra yang berkiblat ke Timur Tengah secara umum dipengaruhi oleh sastra melayu klasik. Sastra melayu notabene nya menyampaikan nasihat dan pesan pesan agama, baik dalam mengatur manusia dengan manusia ataupun manusia dengan Allah sang pencipta. Kita tidak bisa menafikan bahwa bahasa sastra yang berasal dari Arab ini menggunakan al-Quran dan Hadis sebagai sumber dalam menyampaikan semua pengalaman bathianiah. Muncullah penyair penyair Islam yang dikenal dunia seperti Muhammad Qosim Al-Harisi, Jalaluddin Arrumi (Persi) dan Omar Khayyam. Di Asia Tenggara muncul Hamzah Fansuri dan Wali songo dengan karya yang luar biasa. Para penyair Islam telah menjadikan sastra dalam berbagai genre sebagai media dakwah untuk mengajak pada kebajikan. Bahasa yang digunakan oleh penyair penyair Islam sangat estetik, karena mereka mengangkat dan terispirasi dari bahasa Al-Quran yang mempunyai nilai esteitka sastra tingkat tinggi.
Untuk membuktikan bahwa bahasa al-Quran punya nilai sastra tertinggi di antara bahasa lain, penulis mengutip salah satu ayat suci al-Quran sebagai berikut:
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. [Q.S. al-Baqarah: 223]
Di mana redaksi bahasa dalam ayat di atas, mempunyai estetika sastra yang luar biasa. Dalam hal ini Allah sang pemilik manusia mengumpamakan para istri sebagai kebun tempat becocok tanah ketika berada di dunia. Artinya, para laki- laki wajib memilih isteri- isteri yang taat beragama dan sah/ halal baginya setelah mengikuti ketentuan syariah. Begitu indah tautan dan perumpamaan yang dilukiskan dalam ayat tersebut. Bahasa berestetika sastra tinggi seperti ini banyak digunakan oleh penyair penyair sekelas Buya Hamka, Ali Hasyimi, Mustofa Bisri, dan Emha Ainun Najib. Dari uraian panjang terjawab sudah kemana kiblat sastra kita saat ini. Kita punya 87 persen penganut agama Islam. Mengapa kita masih plin -plan dalam menentukan arah dan haluan dalam berkarya? Dengan kondisi bangsa yang carut marut seperti masih layakkah kita berdiam diri menjadi pengamat dengan bekal kebarat -baratan. Bukankah karya sastra mampu mengubah dan menenggelamkan sebuah negeri? Pena kita dapat menembus berjuta otak dalam kepala, tapi peluru hanya mampu menembus satu nyawa. Mari kita ganti arah kiblat sesuai keyakinan yang Qurani bukan ke barat baratan. Jangan menyalahkan pendahulu kita, mari kita arahkan layar mengikuti arah angin.
Mengapa kita harus mengkiblatkan sastra pada yang di pandu al-Qur'an dan Hadist. Sebab inilah salah strategi untuk membentuk pribadi yang agamis.
Upaya Meningkatkan Pribadi Agamis Melalui Sastra Islam.
Menyaksikan zaman islam kini yang masih labil penghuni zamannya. Tidak teratur akalnya. Maka dibutuhkannya perawatan pada akal manusia khususnya umat islam. "Apakah mereka tidak berakal?" Lebih dari sepuluh kali terdapat di dalam al-Qur'an. Isinya ialah membangkitkan hati untuk menimbang, memikirkan, merenungkan. Dan oleh Hadist dikuatkan pula: "Tidaklah sempurna agama manusia selama-lamanya, sebelum sempurna akalnya". Tapi alam yang tunduk kepada Allah SWT kini menangis, di usianya yang senja, ia menyaksikan manusia sebagai makhluk yang tak berakal. Tentang LGBT, tentang pencabulan anak, perdagangan manusia, persengketaan sedarah. Orang yang pandai berbicara tak pandai berbuat. Lebih banyak bermewah-mewahan dalam hidup. Lebih banyak mengumbar kebaikan atas dasar mengharap sanjungan dan pujian. Amal tidak alami sebab hendak di post pada sosial media. Lupa akan syukur dan tafakur. Sahabat-sahabati, penulis selalu mengingatkan kembali tentang tujuan kita sebagai kader PMII. Membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT. Ada banyak teori dan ilmu yang dapat menjadi jembatan para penyesat dan yang tersesat. Sebagai penggerak rukun sosial.
Salah satu upayanya adalah sastra islam. Menjadi pencipta sastra atau sebagai penikmat sastra. Dua hal dapat membangun pribadi agamis. Sebab, sastra islam adalah karya yang di pandu oleh al-Quran dan as-Sunnah.
Biasanya orang akan senang dengan keindahan, kehangatan, hiburan dan kesinkronan pada kehidupannya. Semua itu ada dalam sastra. Disinilah alasan sastra islam dapat dijadikan sebagai uapaya pembentukan pribadi agamis.
Sastra memang abstrak, tapi sangat berpengaruh. Akhir-akhir ini "Dilan" sebuah novel yang di filmkan telah mempengaruhi masyarakat terutama kaum muda-mudi menjadi contoh yang realistis. Dan itu adalah karya sastra. Mulai dari tiruan berpakaian, cara berbicara dan hal-hal yang spontan membuat mereka mengikuti kehidupan Dilan. Sayangnya yang ditiru adalah Dilan dan Milea. Bukan Rasulullah dan Siti Aisyah.
Ternyata, sifat tulisan seorang penulis dipengaruhi dengan apa yang ia baca, kemahiran seorang koki tergantung selera yang ia sukai. Begitupula pola hidup manusia, tergantung lingkungan dan pandangan tiap individunya masing-masing.
Salah satu yang dapat menjadi cermin adalah karya-karya Habiburrahman El-Shirazy yang berhasil meluncurkan novel yang di filmkan yaitu Ayat-ayat Cinta , Ketika Cinta Bertasbih dan sebagainya. Hadirnya film Ayat-ayat Cinta season 2, tidak terlalu viral seperti Dilan. Peminat Ayat-ayat Cinta ini hanya sebagian orang-orang tertentu saja. Berarti inilah tugas sastrawan-sastrawati islam menciptakan kemasan dan rasa sastra yang magic sebagai ajang pendakwahan.
Sebagi penikmat dan pencipta sastra nikmatilah sastra islam, sajak Jalaludin Rumi misalnya, yang selalu melekatkan spiritualnya. Karena ini sangat berpengaruh pada kehidupan kita. Jika pembuat sastra islam berhasil, setidaknya kesadaran penonton meningkat dibandingkan sebelum ia menonton. Tuntutan ini bukan berarti menghalangi masyarakat untuk menutup diri pada sastra barat dan semacamnya. Bahkan kita janganlah kalah dengan negara Finlandia sebagai negara literasi nomor satu. Akan tetapi janganlah keluar dari koridor keislaman.
Membaca sastra, berarti mendewasakan diri, menonton sastra berarti melihat perbandingan gambaran diri dan gambaran kehidupan oranglain. Menikmati sastra islam, berarti jihad menuju surga Allah SWT.
Islam itu etika, islam itu ilmu, kesuksesan, dan keindahan. Dan manusia adalah makhluk sosial. Maka anutlah islam sebaik-baiknya sebagai kode etik sosial yang rukun. QS. al-Baqarah (2) ayat 177 menunjukan bahwa struktur masyarakat yang adil harus ditandai dengan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan orang-orang yang menderita dan pengerahan dana untuk membela kaum lemah (Gusdur, 1988: 120).
Di zaman sekarang, terutama dalam dunia islam, dan terutama pula di tanah air kita yang masih serba kekurangan, perlulah banyak jumlahnya orang-orang yang berani menyatakan paham. Orang seperti M. Syafei Kayutanam, yang berani meninggalkan hidup mewah, berkorban untuk memperbaiki pendidikan anak-anak bangsanya, yang selama ini menerima pendidikan penjajah. Mesti banyak yang seperti Rahmah El Yunusiyah, yang hidup menjadi janda, karena memikirkan pendidikan saudara-saudaranya kaum perempuan. Mesti banyak yang berani menyatakan pendapat yang baru, seperti Ir. Sukarno dengan artikelnya "Memudahkan Pengertian Islam" di dalam majalah Panji Islam (1938). Beliau telah mengeluarkan beberapa pikiran baru tentang islam, yang selama ini belum di keluarkan orang.
Indonesia merdeka, islam berjaring luas. Tapi orang-orang indonesia seperti belum merdeka, orang-orang islam pribadinya belum agamis. Masih di temukan hati dan akal manusia yang berantakan. Dan yang pandai berbicara, orasi, atau memimpin pun kadang masih memiliki dunia hati yang tidak dengan sesuai dohir perkataannya.
Masih hangat kita dengar penganiayaan terhadap pimpinan Ponpes Alhidayah. Kemana pribadi humanis pada agama dan sosialitas mereka?. Dengan mudahnya membasmi orang-orang yang baik di jalan Allah.
Maka perlu pembenahan manusia yang tidak baik menjadi baik, yang kurang baik menjadi lebih baik. Hidup adalah bekal akhirat. Menjadi hamba yang mendapat rahmat Allah SWT. Jika kemudian si hamba meminta sesuatu yang mendatangkan kebaikan hanya kepada penghidupan dunia saja, tidak untuk akhirat dan tidak menyelamatkannya dari api neraka, maka doa induk itu menahan doa yang datang kemudian. (Ibrahim, 2004 :29-30)
Tetapi manusia yang hilang akal, sebab hilang dari lingkungan agama islam. Dan di perlukan penyebaran dan pendakwahan tentang islam ini yang hendak mempengaruhi pribadi-pribadi muslim. Terutama kalangan pemuda/pemudi islam yang bergerak. Khususnya PMII. Menyediakan wadah seperti sastra tempat berharokah, sebagai hiburan positiv yang dapat membangun karakter tingkahnya. Sastra selalu menjadi satu senjata pembius manusia. Dan apabila yang mempengaruhinya sesuai koridor, maka yang dipengaruhinya akan melakukan segala perkara sesuai okoridor islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, 2015, Falsafah Hidup, Republika, Jakarta.
Arif Syaiful, 2013, Humanisme Gus Dur, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta.
Andriyani, 2017, Jejak Langkah Sang Sufi, Mueeza, Yogyakarta.
Ibrahim, 2004, Syarah Al-Hikam, ITM Cauangan, Pahang.
Komentar
Posting Komentar